20 Desember 1956 - 19 November 2015

Pagi itu suasana rumah sakit masih sama.
Sama seperti pagi pagi sebelumnya, aku berjalan menyusuri lorong ICU dimana bapak berbaring.
Aku masih selalu terisak setiap keluar dr ruangan itu, aku masih kehilangan arah setiap liat keadaan bapak. Bapak tidak kunjung baik.
Sepanjang hari aku berada di tempat yang sama, sepanjang hari aku berdoa dengan isi yang sama, sepanjang hari aku mendokan orang yang sama.
Sampai akhirnya Kamis pagi itu semua berubah.
Aku tidak lagi terisak, aku tidak lagi kehilangan arah, tapi aku kehilangan hidupku. Aku kehilangan Bapak.

Bapak berbaring didepanku, dituntun melafaskan doa, dan pergi bersama Allah.
Bapak nggak akan pernah kembali.
Nggak ada bapak lagi yang duduk di sofa hitam itu menunggui aku pulang.
Nggak ada bapak lagi yang membuka pagar rumah untuk sholat subuh di masjid.
Nggak ada bapak lagi yang berlarian ke lapangan tenis.
Nggak ada bapak lagi yang meminta dibuatkan es teh.
Nggak ada bapak lagi yang minta diambilkan nasi waktu ibu nggak ada.
Nggak ada bapak lagi yang mencukur kumis dan jenggot di kaca wastafel.
Nggak ada bapak lagi yang menyanyi sepanjang jalan menuju boyolali.
Nggak ada bapak lagi yang memuji penampilanku.
Nggak ada bapak lagi..
Nggak ada bapak lagi,,
Nggak ada bapak lagi..

Aku pernah bersujud didepan Allah untuk kesembuhan bapak.
Bahkan aku juga pernah sujud didepan dokter yang menangani bapak.
Tapi bapak tak kunjung baik bahkan bapak pergi.

Setiap hari aku kirim pesan singkat ke handphone bapak, berharap bapak membalas pesanku.
Tapi nggak ada balasan dari bapak sampe detik ini.

Pak, hidup ini sulit aku hadapi sendiri tanpa bapak.
Hidup ini lebih keras daripada ajaran bapak.
Aku nggak bisa pak.

6 bulan setelah kepergian Bapak, hidupku tidak semakin baik.
Aku melemah, hatiku sulit tenang, tangisanku semakin menjadi jadi, pikiranku nggak karuan.

Hidup memang akan terus berjalan,
Dan tetap tidak ada bapak.

Postingan populer dari blog ini

Senja Sebenarnya

Nineteen of My September

Menolak Tua